Torehan Rasa Penikmat Teater

 




Menelisik sehari yang lalu, saya melihat pertunjukan teater  melalui pertunjukan virtual yang diadakan oleh Hatedu Semarang. Terdapat banyak pertunjukan yang ditampilkan dalam acara ini, salah satunya adalah Teater Atmosfir Kendal. Teater ini mengusung puisi berjudul “Meneroka Tubuh” karya Setia Naka Adrian sebagai dasar jalannya penampilannya. Inilah awal sebuah wadah untuk mengalihwahanakan sebuah puisi menjadi sebuah pertunjukan yang menarik. Mencoba mendalami perihal apa yang disampaikan dalam pertunjukan ini. Dimulai dari penataan setting tempat, media yang digunakan, dan menerka-nerka suasana apa yang akan diwujudkan. Sebuah instrumen dibunyikan untuk mengiringi pembukaan awal dimulainya pertunjukan dari Teater Atmosfir Kendal. Terdengar suara laki-laki yang lantang bernada pembacaan puisi disuarakan di sana, suasana terasa seperti sedang menyaksikan sebuah perjuangan tiada akhir. Datang tujuh orang pemain dengan membawa tiga pasang kayu seperti bambu yang dirangkai menjadi sebuah segitiga. Satu orang pemain membawa sebuah tong berisikan orang-orangan yang terbuat dari plastik. Digantungkannya properti itu di masing-masing kayu yang sudah tertata. Rangkaian kayu terletak diantara penari yang datang mengenakan kain berwarna kuning layaknya sebuah kipas yang lentur sedang digerakannya. Tubuhnya yang lihai berputar di tempat ia berdiri, membuat mata menyorot ke arahnya. Lalu datang seorang laki-laki berpakaian putih dengan riasan khas di wajahnya. Ia mengeluarkan suara dengan kata-kata lanjutan dari puisi yang dibicarakannya. Sang penari terus menggerakkan kain-kainnya seperti sudah tenggelam dalam kisahnya. 

Terdapat dialog kecil dalam mengibaratkan tiga orang-orangan dari plastik tadi dengan nama purba, leluhur, dan alien. Sebuah nama yang terdengar tidak asing dalam telinga, menurut saya juga terlihat ketidakselarasan dalam pengandaian ini mengartikan bahwa kehidupan selalu berkembang dengan adanya perubahan yang tidak bisa disamaratakan. Semua pemain berbaju hitam menyoroti laki-laki berbaju putih dengan cahaya di atasnya. Suasana sedikit mencekam dengan musik yang diputarkan, datang seorang penari membawa dua rangkai api dan diberikannya ke laki-laki berbaju putih. Api ini menerangi dan menghidupkan kelamnya suasana yang digambarkan. Kalimat yang terucap kembali, perkataan mengenai rumah kami roboh, menggambarkan bahwa rumah sebagai tubuh yang hancur. Berdirinya sang penari dengan peran utama teater ini membacakan kalimat akhir dari puisi, mengakhiri pertunjukan ini. Saya merasa ikut tenggelam dalam pertunjukan dari Teater Atmosfir Kendal. 

Suasana yang dihadirkan dengan instrumen dan media yang digunakan sangat menunjang keberhasilan proses ini. Walau dengan media dan setting yang sederhana, mengalihwahanakan sebuah puisi menjadi lebih berisi kembali. Sebuah realisasi yang hadir dalam kesederhanaan untuk memaknai sebuah puisi.

Komentar

Postingan Populer